Salah satu wujud ketakwaan sesudah bulan Ramadhan adalah menghidupkan malam Idul Fitri dengan gema takbir dan ibadah lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه)
Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR As-Syafi’i dan Ibn Majah).
Syaikh Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i (w. 676 H) atau yang lebih masyhur dengan sebutan Imam Nawawiy, dalam kitab al-Adzkarnya menuturkan:
اعلم أنه يُستحبّ إحياء ليلتي العيدين بذكر اللّه تعالى والصلاة وغيرهما من الطاعات للحديث الوارد في ذلك: “مَنْ أَحْيا لَيْلَتي العِيدِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ القُلُوبُ” ورُوي “مَنْ قَامَ لَيْلَتي العِيدَيْنِ لِلَّهِ مُحْتَسِباً لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ حينَ تَمُوتُ القُلُوبُ” هكذا جاء في رواية الشافعي وابن ماجه ، وهو حديث ضعيف رويناه من رواية أبي أمامة مرفوعاً وموقوفاً، وكلاهما ضعيف، لكن أحاديث الفضائل يُتسامح فيها كما قدّمناه في أوّل الكتاب.
“Ketahuilah bahwa disunahkan (dianjurkan) menghidupkan malam kedua hari raya dengan dzikir kepada Allah ﷻ, shalawat dan yang lainnya seperti perbuatan-perbuatan keta’atan, berdasarkan hadits yang warid yang menjelaskan hal tersebut: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan pernah mati pada hari kematian hati” dan diriwayatkan “Barangsiapa yang menegakkan malam-malam hari-raya (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah ﷻ dengan penuh keikhlasan, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati”. Demikianlah penjelasan hadits yang ada dalam riwayat Imam asy-Syafi’i dan Imam Ibnu Majah. Status hadis ini adalah Dhaif (lemah), kami meriwayatkannya dari riwayat Abi Umamah secara marfu’ juga mauquf. Sedangkan perkataan keduanya adalah lemah, tetapi hadits-hadits fadhailul a’mal (keutamaan ibadah) masih ditolerir sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya diawal kitab ini.”
Sementara dalam kitab Raudhan at-Thalibin wa Umdatu al-Muftiyin sacara tegas Imam Nawawiy mengatakan:
والحديث الوارد فيه ضعيف لكن أحاديث الفضائل يتسامح فيها عند أهل العلم من المحدثين وغيرهم.
“Hadits yang menjelaskan hal ini tergolong hadits Dhoif, tetapi mengamalkannya dalam masalah keutamaan ibadah (fadholilul a’mal) ditolerir menurut ahli ilmu dari kalangan ulama hadits dan lainnya.
(Wallahu A’lamu)