Pada tahun 1940-an, ketika Gus Dur masih kecil, adalah rentang masa seorang santri yang bernama Idris, berkhidmah kepada KH. Bisri Syansuri, pakar fikih, salah seorang pendiri NU, yang juga pendiri Pesantren Denanyar Jombang pada 1917.
Gus Dur yang lahir pada 07 September 1940 adalah putra KH. Wahid Hasyim, dan Bu Nyai Sholihah Bisri, bermakna bahwa beliau adalah cucu Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947) dan juga cucu KH. Bisri Syansuri (w. 1980).
Suatu saat di tahun 1940-an itu, Hadratussyaikh berkunjung ke besan yang juga merupakan murid tersayangnya tersebut, dengan naik kendaraan delman atau dokar, dari Tebuireng menuju Denanyar. Setidaknya dari kisah ini menggambarkan akhlak mulia Hadratussyaikh, bahwa seorang guru tak merasa berkeberatan berkunjung ke kediaman atau pesantren muridnya. Atau seorang yang lebih alim, lebih utama berkunjung kepada yang berada di bawahnya.
Dikisahkan oleh Gus Royani, bahwa Kang Idris, yang merupakan khadim Kiai Bisri Syansuri, seperti biasa, bertugas menyediakan minuman dan hidangan kepada para tamu Kiai Bisri. Lebih-lebih yang rawuh adalah pimpinan tertinggi, Rais Akbar Nahdlatul Ulama.
Selepas bertugas, timbul pikiran hati Kang Idris untuk “nguping” pembicaraan dua ulama utama Nahdlatul Ulama tersebut. Kang Idris yang berasal dari Wonogiri Jawa Tengah ini pun tidak lekas menjauh dari ndalem kasepuhan Kiai Bisri. Ia tampak berdiri agak dekat dengan kedua beliau, di luar ruangan ndalem.
Apa daya, di tengah upayanya “nguping” di dekat pancian itu ia terjatuh pingsan. Dan ketika Hadratussyaikh dan Kiai Bisri Syansuri menyelesaikan komunikasi khusus tersebut, Kang Idris siuman.
Kang Idris pun menyimpulkan sendiri, bahwa tak elok seorang santri mendengar pembicaraan khusus para kiainya. Ia sadar, langkahnya salah. Dan takdir pingsannya itu seolah menyiratkan makna bahwa tindakannya bukan hanya salah, tapi tidak direstui kiainya.(*)
Sumber: FB/Ust Yusuf Suharto